Berbuat Baik Tanpa Kasih?
(Wahyu 2 : 1-7)
Jemaat di Efesus
menerima pujian karena pekerjaan, jerih payah, ketekunan, kesediaan mereka
menolak yang jahat, dan kesabaran mereka (2-3). Namun, mereka disebut telah
meninggalkan kasih mereka yang semula (4). Mereka pun dicela dan diperintahkan
untuk bertobat (4-5).
Jemaat di Efesus yang
dianggap telah meninggalkan kasih semula mereka itu mendapat teguran yang
mencela bahwa mereka telah jatuh sangat dalam (5). Bisa jadi mereka sudah
begitu jauh meninggalkan kasih mula-mula mereka sampai mereka mendapat
peringatan bahwa apabila mereka tidak bertobat, kaki dian mereka akan diambil
dari tempatnya (5). Apakah mereka sendiri tidak menyadari apa yang mereka
lakukan?
Hal ini terkesan
aneh. Bagaimana bisa perbuatan baik dan setia
disebut dilakukan tanpa kasih? Bukankah kasih adalah daya pendorong bagi seseorang
untuk melakukan perbuatan baik dan setia?
Sebenarnya, hal
demikian bisa saja terjadi. Sangat mungkin orang
melakukan kebaikan bukan berdasarkan kasih, melainkan karena merasa terpaksa atau berada di bawah ancaman. Bisa pula perbuatan baik itu dilakukan sekadar
karena kewajiban. Selain itu, bisa saja perbuatan baik itu
dilakukan sebagai sebuah kebiasaan. Karena sudah rutin,
perbuatan baik itu terus dilakukan tanpa adanya kasih. Jadi, orang berbuat baik
secara mekanis seperti mesin. Mereka tak tahu
lagi alasan dan makna dari perbuatan baiknya.
Teguran keras kepada jemaat di Efesus kiranya juga
menjadi teguran bagi kita sekalian. Berbuat hal yang baik adalah sebuah norma
universal. Orang dituntut berbuat baik agar dapat diterima dalam pergaulan dan
relasi yang lain. Namun, sungguh, orang pun bisa jatuh pada perbuatan baik yang
tidak tulus dan tidak didasarkan kasih. Karena tuntutan sosial dan kebiasaan,
orang melakukan kebaikan secara mekanis.
Mari kita gali ulang kasih di dalam diri kita. Mari
mengasihi sedemikian rupa sehingga kita berbuat baik karena dorongan kasih.
Mari kembali kepada kasih kita yang semula: kasih kepada Allah dan sesama; dua
hukum yang terutama. [KRS]
(Wahyu 2:1-7)Dalam surat ini, jemaat Efesus dipuji
karena mereka adalah jemaat yang kuat dan giat di dalam pelayanan. Mereka
dikenal sebagai jemaat yang rajin, tekun, memiliki pengajaran yang sehat dan
kemampuan untuk membedakan ajaran sesat dan nabi-nabi palsu, serta kemampuan
mereka bertahan di dalam penderitaan yang hebat. Jemaat di Efesus tidak
terpengaruh oleh lingkungan mereka dan telah menjadi gereja teladan.
Meskipun jemaat Efesus giat di dalam berbagai bentuk
pelayanan, ada hal yang sangat penting telah hilang, yakni kasih yang semula.
Penyakit rohani ini sedemikian parah sehingga mereka ditegur dengan keras agar
berbalik dan bertobat.
Kegagalan gereja Efesus menjadi pelajaran berharga
bagi gereja Tuhan di sepanjang sejarah dan bagi setiap orang percaya. Begitu
mudah kita terlibat aktif di dalam kegiatan pelayanan, tetapi melupakan Tuhan
Yesus, Pribadi yang kita layani. Mari kita renungkan, sejatinya, siapakah yang
kita layani
-Ps.Hellen Ch. Purwantoro,
11 September 2022

Komentar
Posting Komentar